Oleh : Lion hidjun., S.Pd.,SH.,MH
(Aktivis hukum dan pemerhati kebijakan publik)
Wakilrakyat.co, GORONTALO – Menarik untuk di bahas polemik yang sementara trandik topik di media sosial. Dimana walikota Gorontalo akan membawa keranah hukum gubernur Gorontalo jika tidak menertibkan pedagang ilegal di tempat pelelangan ikan dan pelabuhan pendaratan ikan. Lantas apakah itu sudah sesuai dengan logika dan penalaran hukum. Mari kita ulas dan luruskan.
Benar bahwa Indonesia adalah negara hukum—rechtstaat, bukan machstaat. Dalam kerangka itu, maka segala tindakan pejabat publik harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Namun, menempatkan hukum secara adil juga berarti memahami proporsionalitas kewenangan dan tanggung jawab para pejabat negara. Di sinilah adagium kuno “salus populi suprema lex esto”—keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi—perlu dihayati bukan hanya secara semantik, tapi juga substansi.
Dalam konteks dugaan pelanggaran tata ruang di kawasan TPI dan PPI Kota Gorontalo.
gubernur Gorontalo bukan pihak yang yang melanggar tata ruang tapi sebagai pihak yang mengatur tata ruang dan mengatur kawasan tersebut maka sangat tidak elok beliau di laporkan sebagai subjek hukum yang melanggar tata ruang.
saya menilai bahwa Gubernur Gusnar Ismail tidak dapat serta-merta dianggap sebagai subjek hukum yang melanggar UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Mengapa? Karena hukum pidana tata ruang, sebagaimana diatur dalam pasal 69 dan 73, mensyaratkan adanya perbuatan aktif dari pejabat yang bersangkutan, seperti menerbitkan izin yang bertentangan dengan RTRW, atau melakukan pembiaran yang berdampak serius terhadap perubahan fungsi ruang.
Sementara itu, tidak ada satu pun bukti yang menunjukkan bahwa Gubernur Gusnar Ismail pernah menerbitkan izin ilegal atau mengubah peruntukan ruang kawasan tersebut.
Lalu siapa yang patut dimintai pertanggungjawaban dalam hal ini? Mari kita cermati secara jernih: aktivitas informal para pedagang tanpa izin di kawasan PPI dan TPI itulah yang sejatinya tidak sesuai dengan peruntukan ruang. Dengan kata lain, pelaku langsung pelanggaran tata ruang adalah individu atau kelompok yang memanfaatkan ruang tanpa dasar hukum yang sah.
Jadi Jika Walikota Gorontalo bersikukuh ingin memidanakan para pelanggar UU tentang tata ruang maka yang semestinya di laporkan oleh walikota adalah para pedagang kaki lima yang berjualan di kawasan PPI dan TPI yang memanfaatkan ruang tanpa izin, atau tidak mentaati RT RW yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang.
Apabila ingin menyeret Gubernur ke ranah hukum pidana atas dugaan pelanggaran tata ruang, maka beban pembuktian konkret berada di pundaknya. Ia harus bisa menunjukkan bahwa gusnar Ismail telah menandatangani atau memberikan izin usaha perdagangan di kawasan atau di dalam TPI dan PPI.
Terakhir saya menghimbau kepada semua kepala daerah untuk fokus bekerja dengan kewenangan masing masing. Sepanjang pengamatan kami gubernur Gorontalo lebih mengedepankan koordinasi ketimbang konfrontatif. Jika terus terusan menyoalkan yang tidak subtansial waktu dan energi habis sementara jabatan terbatas. Kami menunggu kerja nyata. Masyarakat menunggu prestasi kepala daerah bukan sensasi.
Dari beberapa kesempatan penulis melihat Pemerintah Provinsi Gorontalo menegaskan komitmennya untuk melaksanakan penataan kawasan PPI dan TPI dengan menjunjung tinggi kepastian hukum, perlindungan hak pedagang kecil, serta kepatuhan terhadap RTRW. Semua dilakukan penuh humanis dengan pendekatan kemanusian.
Torang bekeng Bae.