Oleh : Ahmad R Bakari (Pimred Wakilrakyat.co)
Pasca Pilkada Kabupaten Boalemo, Boalemo dianggap tengah memasuki masa-masa suram dengan hadirnya jejak-jejak premanisme.
Hal ini imbas dari beberapa pendukung yang dianggap mengintimidasi beberapa pihak maupun pendukung paslon lain dengan nada-nada ancaman.
Namun, benarkah Boalemo serumit itu?
Boalemo yang dibangun dengan perjuangan para pendahulu bisa jadi acuan akankah Boalemo menjadi tempat pertumpahan darah.
Tentu tak akan lekang oleh waktu, terutama bagi para saksi hidup di era awal tahun 2000-an bagaimana saat itu terjadi aksi besar-besaran di bawah panji Forkot.
Ribuan masyarakat tumpah ruah rela mati meminta Pemerintah saat itu mempertahankan Tilamuta sebagai ibu kota Kabupaten Boalemo.
Ribuan aparat keamanan pun harus diterjunkan untuk mengamankan aksi terbesar sepanjang sejarah Kabupaten Boalemo tersebut.
Toh, pada akhirnya ibu kota berhasil dipertahankan, tak terjadi pertumpahan darah, apalagi sampai ada korban jiwa.
Padahal, jika mendengar cerita dibalik perjuangan itu, tokoh-tokoh yang dikenal “Motota” Atau berilmu tinggi turut terlibat didalamnya.
Karakter orang Boalemo juga masih bisa dikatakan memegang teguh prinsip “Mobilohe”. Dalam artian, ikatan persaudaraan sesama orang Boalemo masih jadi alasan nomor satu sulitnya premanisme masuk Boalemo.
Di Boalemo masyarakat masih bebas bersuara, mengkritik, melakukan aksi demonstrasi tanpa ada intimidasi apalagi yang katanya main ancam.
Kasus-kasus kekerasan yang berujung pada kematian juga rata-rata didominasi oleh persoalan sengketa tanah, perselingkuhan hingga pengaruh alkohol, bukan karena beda pilihan dalam Pilkada.
Bagaimana dengan Rum dan Lahmudin?
Rum di kenal sebagai figur tegas, bukan pendendam. Artinya, Rum selalu menempatkan segala kebijakan berdasarkan kualitas dan aturan. Bukan karena soal dukung atau tidak mendukung, apalagi hanya karena suka atau tidak suka.
Sementara Lahmudin, tak perlu ditanya lagi! Jangankan untuk dendam, marah pun rasa-rasanya tak pernah terlihat saat PAHAM dicaci dan dihina selama pilkada. Tentu sangat tidak mungkin seorang Lahmudin membiarkan Boalemo bergejolak hanya gara-gara beda pilihan.
Bagaimana dengan Para Pendukung?
Para pendukung fanatik, memang mulai kelewat batas. Tapi, itu semua bukan tanpa sebab. Sekiranya 3 bulan lebih para pendukung seolah menahan diri membalas cacian dan hinaan yang dialamatkan kepada Paslon mereka.
Ya memang, selama pilkada Rum dan Lahmudin melarang para pendukungnya untuk membalas hinaan yang dilakukan kepada mereka. Bahkan, Rum dan Lahmudin tak segan memarahi para pendukung dan tim yang akan melakukan serangan balik kepada lawan.
Bisa dikatakan, ini hanya efek euforia berlebihan pasca pilkada, yang pada nantinya akan reda juga seiring berjalannya waktu.
Penulis masih percaya, pada akhirnya Boalemo adalah tempat paling nyaman untuk semua orang, tempat paling nyaman untuk belajar, tempat paling nyaman untuk mengkritik, tempat paling nyaman untuk mencari kehidupan, dan tempat paling nyaman untuk menemukan cinta.