Oleh : Fadli Thalib
Batas Etika dan Arus Digital
Fenomena fantasi sedarah atau kecenderungan erotis terhadap hubungan antar keluarga kandung kini tidak hanya menjadi tema sastra gelap atau ranah psikologi abnormal, namun telah merembes ke ruang-ruang publik digital, termasuk di Indonesia. Ironisnya, dalam beberapa minggu terakhir, topik ini menjadi viral di media sosial dengan berbagai bentuk konten mulai dari pengakuan anonim hingga karya fiksi erotis yang bertebaran di forum daring. Bagi sebagian, ini dianggap sebagai pelepasan ekspresi tapi tanpa disadari ini adalah tanda krisis nilai sosial yang patut dianalisis secara serius.
Dalam konteks lokal, kejadian ini menjadi semakin rumit ketika berhadapan dengan norma sosial dan budaya daerah yang memiliki nilai kekeluargaan tinggi seperti di Gorontalo. Budaya Gorontalo, yang mengakar kuat pada prinsip “adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan Kitabullah”, tentu sangat menentang ideologi atau imajinasi yang menyimpang dari nilai moral dan agama.
Dalam beberapa minggu terakhir, publik Indonesia, khususnya masyarakat Gorontalo, dikejutkan oleh kasus ayah mencabuli anak kandungnya sendiri. Peristiwa memilukan ini tidak hanya menyayat nurani, tetapi juga mengguncang fondasi budaya dan etika masyarakat yang dikenal religius dan menjunjung tinggi adat. Lebih mencemaskan lagi, peristiwa ini diyakini hanya salah satu dari banyak kasus kekerasan seksual dalam keluarga yang tidak pernah sampai ke permukaan.
Munculnya narasi inses, baik dalam bentuk fantasi seksual di media sosial maupun dalam bentuk tindak kekerasan seksual nyata, menunjukkan krisis nilai kolektif yang melanda masyarakat modern, termasuk masyarakat Gorontalo.
Kisah Oedipus dan Tragedi Kekuasaan Seksual
Kasus ayah cabuli anak kandung di Gorontalo menegaskan bahwa fantasi sedarah bukan sekadar imajinasi menyimpang, tapi bisa menjelma menjadi kekerasan nyata ketika tidak ada kontrol sosial dan moral. Dalam tragedi Oedipus, Sophocles menggambarkan bagaimana ketidaktahuan dan takdir membawa Oedipus membunuh ayah dan menikahi ibunya. Namun dalam konteks modern, tindakan cabul seorang ayah kepada anak bukan karena takdir, tetapi karena kekuasaan seksual yang disalahgunakan, dibungkus oleh dominasi patriarki dan minimnya edukasi moral.
Michel Foucault juga mengajarkan kita bahwa seksualitas tidak terlepas dari relasi kuasa. Dalam relasi ayah dan anak, terdapat struktur kuasa yang memungkinkan eksploitasi. Ketika kontrol sosial melemah dan budaya malu tidak lagi ditanamkan sejak dini, relasi kuasa ini bisa melahirkan kekerasan seksual yang brutal, dibenarkan secara personal dan tidak terlihat oleh masyarakat hingga terlambat.
Konteks Gorontalo, Adat: Simbol Ketundukan Moral
Nilai budaya Gorontalo yang dikenal dengan konsep “huyula” yang mengandung nilai-nilai kerjasama, tanggungjawab, serta toleransi, dulunya menjadi alat kontrol sosial yang kuat. Namun dalam kasus viral ayah cabuli anak di Gorontalo, kita menyaksikan bagaimana nilai malu dan kontrol moral gagal berfungsi secara efektif. Ini menunjukkan bahwa nilai adat mulai terputus dari generasi ke generasi, digantikan oleh pola hidup individualistis dan kurangnya pengawasan sosial.
Masyarakat Gorontalo memiliki sistem nilai sosial yang sangat kuat, dikenal dengan istilah “Adat bersendikan Syara’, Syara’ bersendikan Kitabullah”. Ini menunjukkan bahwa norma sosial tidak berdiri sendiri, melainkan melekat pada nilai keislaman. Hubungan antar anggota keluarga sangat dijaga melalui prinsip “huyula” yang menjadi alat kontrol moral yang kuat dalam masyarakat. Olehnya, Fantasi sedarah dalam konteks ini bukan hanya penyimpangan seksual, tapi juga pelanggaran eksistensial terhadap identitas budaya dan kehormatan keluarga.
Lembaga adat dan tokoh agama di Gorontalo memiliki pengaruh besar dalam mengontrol perilaku masyarakat. Namun, dalam era digital, pengaruh ini tergerus oleh individualisme digital, di mana identitas maya memungkinkan orang untuk menyembunyikan perilaku yang bertentangan dengan nilai lokal. Anak-anak dan remaja yang tidak lagi terikat pada kontrol sosial tradisional menjadi lebih rentan terhadap ideologi menyimpang yang mereka konsumsi secara daring.
Realitas Gorontalo: Banyak Kasus, Sedikit yang Terbuka
Menurut data LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), mayoritas kekerasan seksual terhadap anak dilakukan oleh orang terdekat, termasuk ayah kandung, paman, dan kakek. Namun, hanya sebagian kecil yang sampai ke jalur hukum karena malu dan patriarki yang kuat.
Kasus ayah cabuli anak kandung hanyalah puncak gunung es. Banyak korban yang memilih diam karena tekanan sosial, ancaman dari pelaku, atau karena takut dianggap sebagai perusak nama baik keluarga.
Anak-anak Sebagai Korban Fantasi
Anak-anak adalah konsumen paling rentan terhadap konten seksual karena otak mereka masih berkembang dan belum mampu membedakan antara fiksi dan realitas secara penuh. Ketika narasi seperti fantasi sedarah dihadirkan dalam bentuk ringan, lucu, atau bahkan romantis, hal ini menciptakan distorsi kognitif yang bisa berdampak jangka panjang terhadap cara mereka memahami relasi keluarga dan tubuh mereka sendiri.
Anak yang mengalami pelecehan seksual dari ayah kandung tidak hanya kehilangan rasa aman, tetapi juga mengalami distorsi terhadap makna cinta, keluarga, dan kepercayaan. Dalam banyak kasus, korban mengalami depresi berat, bahkan gangguan kepribadian di masa dewasa.
Lebih dari itu, mereka bisa mengulang pola kekerasan tersebut kepada generasi berikutnya jika tidak mendapatkan pemulihan psikososial yang memadai. Ini bukan hanya soal pelaku dan korban, tetapi soal warisan trauma kolektif masyarakat.
Membangun Kembali Etika Gorontalo
Gorontalo menyimpan banyak nilai luhur yang bisa digunakan untuk membangun kembali etika masyarakat. Pendidikan karakter yang berbasis adat dan agama harus diprioritaskan, bukan sekadar diajarkan di sekolah, tetapi dihidupkan dalam kehidupan sosial sehari-hari.
Pendidikan seksual bukanlah ajakan untuk berperilaku bebas, melainkan pembekalan moral dan pemahaman batas tubuh dan relasi sehat. Di Gorontalo, pendekatan ini bisa dilakukan dengan mengintegrasikan prinsip Islam dan adat secara seimbang, mengajarkan anak bahwa tubuh mereka adalah amanah yang harus dijaga, dan bahwa relasi keluarga memiliki batas sakral yang tidak bisa dilanggar.
Lembaga adat dan keagamaan di Gorontalo perlu kembali mengambil peran aktif dalam pengawasan moral. Kasus ayah cabuli anak harus menjadi momentum untuk membangun gerakan kolektif. Tidak hanya menghukum pelaku, tapi juga menyembuhkan masyarakat yang terluka secara nilai.
Fenomena fantasi sedarah yang tengah viral di Indonesia bukanlah gejala yang muncul dalam ruang hampa. Ia adalah hasil dari benturan antara nilai tradisional dan kebebasan digital, antara kerapuhan kontrol sosial dan kekuatan algoritma. Dalam masyarakat seperti Gorontalo, yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan dan agama, hal ini menjadi tamparan keras akan pentingnya menjaga warisan nilai dan mengadaptasikannya secara cerdas ke dalam era digital.
Sebagai masyarakat yang tengah bergulat dengan modernitas, kita perlu tidak hanya mengutuk fenomena ini secara moral, tapi juga menelusurinya secara filosofis, menyadari akar-akar sosialnya, dan membangun kembali sistem nilai dan kontrol sosial yang humanis, kontekstual, dan berakar pada budaya lokal.
Kasus ayah mencabuli anak kandung di Gorontalo bukan hanya kasus kriminal. Ia adalah simbol dari runtuhnya pagar moral dalam masyarakat yang selama ini mengklaim hidup dalam nilai-nilai luhur. Ia adalah cermin dari kegagalan kolektif dalam mendidik, menjaga, dan mengawasi generasi penerus dari bahaya laten fantasi menyimpang yang kini menjalar dari dunia maya ke dunia nyata.
Kita perlu membangun kembali etika Gorontalo. Kita harus berani bicara, mengungkap, dan menolak membungkam. Karena dalam setiap anak yang diperkosa oleh ayahnya, di situ mati satu dunia yang seharusnya penuh kasih.