Wakilrakyat.co – Ironi paling telanjang kini terpampang di tanah Bolaang Mongondow Utara, tepatnya di Kecamatan Bintauna. Di sisi jalan, terpajang baliho Polres Bolmut yang menyatakan dengan tegas: “Aktivitas Tambang Ilegal Dilarang!” Tapi di wilayah tersebut, berdiri megah baliho milik sebuah koperasi pertambangan yang diduga kuat belum mengantongi satu pun izin sah.
Ini bukan sekadar ketimpangan visual. Ini pembangkangan terang-terangan terhadap hukum. Ketika spanduk larangan hanya jadi latar belakang aktivitas ilegal, sementara para pelaku berdiri gagah mempromosikan usaha mereka, publik wajar bertanya: di mana negara? Di mana aparat?
Laporan yang beredar menyebut koperasi tersebut belum memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP), belum mengantongi AMDAL, dan tak jelas status izin lingkungannya. Namun mereka sudah melenggang bebas, mengiklankan aktivitas mereka secara terbuka. Ini bukan lagi pelanggaran administratif—ini penghinaan terhadap konstitusi dan institusi.
Polres Bolmut tampak tak berdaya. Tidak ada penindakan, tidak ada klarifikasi, dan tidak ada ketegasan. Padahal masyarakat tahu. Mereka melihat, mencatat, dan kini mulai bersuara. Ketika hukum hanya bersuara lewat baliho, tapi tak bersikap di lapangan, maka kepercayaan publik perlahan runtuh.
Lebih menyakitkan, baliho koperasi yang belum jelas legalitasnya itu seolah menjadi simbol kekebalan hukum. Di tengah sorotan aktivitas PETI (Pertambangan Emas Tanpa Izin) yang semakin menggila di Huntuk, koperasi ini justru tampil percaya diri, seakan menertawakan baliho larangan yang dipasang Polres sendiri.
Apakah ini bentuk kompromi? Atau justru bukti bahwa kekuasaan modal telah membungkam keberanian hukum?
Masyarakat tak butuh basa-basi. Mereka butuh kejelasan. Jika koperasi itu sah, tunjukkan dokumen resminya. Jika tidak, segera tertibkan. Jangan biarkan baliho Polres menjadi simbol kemunafikan negara yang tak mampu menegakkan hukum di wilayahnya sendiri.
Jika hukum memang masih hidup di Bolmut, maka buktikan dengan tindakan, bukan spanduk kosong. Karena hari ini, publik melihat: hukum bukan lagi panglima—melainkan hanya papan pengumuman.
(WR1)