Penulis : Sandi Kolopita,S.IP
Wakilrakyat.co, Artikel-Tak bisa disangkal bahwa dilema mahasiswa hari ini yang berhasil menyelesaikan pendidikan pada perguruan tinggi adalah menanggapi pertanyaan masyarakat mengenai pekerjaan. ‘Pekerjaannya apa? Bekerja di mana? Kok kerjaannya gak sesuai sih sama jurusan nya waktu di perkuliahan?’ adalah pertanyaan yang sudah terlalu bosan untuk didengar.
Pertanyaan Ini, terkadang sering muncul kepada Wisudawan yang kemudian baru saja menyelesaikan pendidikan di salah satu universitas. Sehingganya pertanyaan seperti ini bisa juga membuat mereka frustasi. Sebab, cenderung untuk membandingkan dirinya yang belum atau tidak bekerja dengan orang lain yang terlebih dahulu telah punya pekerjaan layak.
Tulisan ini, tak ingin membahas masalah kurangnya lapangan pekerjaan di indonesia, atau banyaknya pengangguran bertitel sarjana yang merajalela. Namun goresan ini lebih dikhususkan untuk menyoroti perilaku masyarakat yang seolah meyakini sepenuhnya bahwa pendidikan dapat ditukar tambah dengan pekerjaan.
Padahal, perlu diketahui bahwa kedua hal tersebut tidaklah berhubungan secara langsung sebagaimana dimaknai secara kolektif dewasa ini. Sehingga, kiranya dirasa perlu mengembalikan makna pendidikan ke pengertian yang sesungguhnya.
Pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Atau dengan kata lain proses, cara, atau perbuatan mendidik. Dari pernyataan tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa maksud diberikannya pendidikan pada seseorang adalah menjadikannya dewasa dan terdidik.
Pendidikan yang baik berarti mengubah orang tak terdidik menjadi terdidik, tak bermoral menjadi bermoral, penjahat menjadi malaikat, koruptor menjadi penyantun anak yatim, pembunuh menjadi penghulu.
Memang pada perguruan tinggi di hampir semua jurusan atau program studi (prodi) cenderung menjadikan orang ahli dalam bidang ilmunya masing-masing.
Namun yang harus dipertanyakan apakah semua orang menyadari perlunya menekuni bidang ilmu yang dipilih tersebut? Atau barangkali yang penting adalah sekadar menerima selembar kertas bertuliskan ijazah dan selanjutnya punya pekerjaan?
Tak bisa dipungkiri bahwa stereotip terakhir inilah yang seolah membanjiri cara pandang masyarakat kita sekarang, sehingga pemaknaan akan pendidikan menjadi kering/kerdil seolah tak berguna. Ijazah dipandang sebagai persyaratan mutlak mencari pekerjaan, yang padahal tak lebih penting dari sertifikat vaksin Covid-19 dan persyaratan semacamnya.
Kembali ke persoalan awal, di masyarakat bahkan lebih super ekstrim lagi yakni pekerjaan digunakan sebagai tolak ukur keberhasilan pendidikan. ‘Mending gak kuliah, toh pada akhirnya juga gak kerja, ngabisin duit ajah’ adalah mantra yang seolah-olah benar sehingga perlu untuk disebarluaskan.
Bukankah sesat pikir semacam ini perlu untuk diluruskan atau bila perlu dibinasakan seolah membenarkan bahwa rumput warnanya biru dan bukan hijau? Bukankan Ki Hajar Dewantara pernah menyampaikan bahwa, maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk kehidupan bersama adalah memerdekakan manusia sebagai anggota persatuan (rakyat).
Bukankah pendidikan merupakan suatu kunci emas untuk membuka gembok-gembok kebodohan penuh karat. Bukankah majunya Eropa seperti sekarang berawal dari para intelektual yang berhasil mendobrak abad pertengahan yang penuh kegelapan menuju sebuah abad pembaharuan atau renaisans? Bahkan untuk bangsa Idonesia kita pun di bangun di atas landasan pikiran dan dialektika para tokoh pendiri bangsa.
Maka dari itu suatu kekeliruan yang akut, tidak seimbang, tak seirama, apabila pendidikan dengan pekerjaan ditukar tambahkan.