Wakilrakyat.co, GORONTALO – Sebetulnya adalah buang-buang waktu jika harus mengomentari persoalan politik tai kucing dari pemilihan BEM UNG. Tapi dirasa tulisan ini harus turun gunung, untuk menepis tindakan-tindakan hipokrit mahasiswa yang masih saja konsen, dengan badan eksekutif mahasiswa yang telah lama menjadi mitos, dalam pergerakan mahasiswa.
Dalam perjalanannya, organisasi internal kampus yang satu ini adalah komposisi paling jitu untuk menjadi lawan terhadap dinamika perpolitikan yang kunjung membusuk di Negara Indonesia saat ini.
Khususnya BEM Universitas Negeri Gorontalo, karna telah lama menjalankan mitos pembaharu. Unggul dan berdaya saing hanya menjadi sorakan semu di ruang-ruang diskusi elitis dan formalistik. Terlalu banyak sambutan dari para ketua-ketua, lebih memilih yang penting berdiskusi daripada berdiskusi yang penting, hal ini mungkin di dasari dari standar dan niat pada hasrat untuk di akui (baca: berani tidak di sukai).
Proses konsolidasi senirotas yang sering diistilahkan “mengawinkan figur” di setiap fakultas kian menjamur. Proses pencarian pemimpin berlarut-larut dan ditunggangi oleh para senior yang kira-kira berumur tidak jauh dengan teks Pancasila.
Politik ugal-ugalan ini, juga syarat akan bagi-bagi jabatan, korupsi, nepotisme, panjat sos. Terkesan gaya-gayaan, biar diminati para junior yang baru masuk kampus. Hal ini juga menjadi ajang “adu pamor” bagi setiap fakultas yang sok keren. Anehnya, kondisi ini sama persis dengan pmerintah yang sering dikritik mahasiswa.
Teori habitus dan arena (Baca: Bourdieu) masuk sebagai pisau analisa, dimana kampus menciptakan agen-agen hipokrit dan menciptakan pemerintaha dengan kumpulan mereka-mereka yang munafik tadi. Akan sangat mungkin, lingkaran setan kebodohan akan tetap tumbuh subur, dari dalam kampus.
Perjalanan dari cerita-cerita BEM UNG, dalam subjektifitas saya, tidak pernah menghasilkan gebrakan aksi nalar hidup, dan formulasi kehidupan dinamika kampus yang selalu stagnan. Jika ada gerakan, pastilah bersifat seremonial belaka, dan tidak masif. Bahkan dalam setiap aksi demonstrasi, pasti mengalami pecah-belah, antara fakultas satu dan lainnya.
Bahkan, dinamika pergerakan mahasiswa model seperti ini, sering beradu aliansi fakultas mana yang lebih banyak. Sembari badan eksekutifnya juga ikut membuat aliansi tandingan biar kelihatan turun ke jalan.
Kematian solidaritas dan kolektivitas gerakan mahasiswa UNG dalam tradisi perlawanan, telah lama menjadi tulang dalam tanah. Banyak hal yang mendasari fenomena kematian solidaritas ini. Salah satunya adalah bias dari politik praktis pemilihan BEM itu sendiri.
Hampir tidak ada harapan atau bahkan harapan itu telah lama mati. Untuk menciptakan kolektivitas perlawanan mahasiswa melalui badan eksekutifnya. Kondisi ini juga menjamur, hingga ke tingkatan Senat dan HMJ. Karena proses pencarian pemimpinnya, adalah hasil dari perkelahian para senior. Fatalnya, para senior yang menjadi “bekingan” ini, tidak memiliki spsirit intelektual yang memadai, ugal-ugalan, dan sering menyerobot kekuasaan, biar dapat proyek yang bisa di bagi-bagi ke senior yang sudah bau tanah.
Skeptisisme ini, tetap akan tumbuh jika proses dalam perhelatan didominasi oleh mereka yang di sebut Nietzsche sebagai kelas moralitas budak. Manusianya tumbuh dengan mental hipokrit yang baik atau tidaknya, tergantung dari para senior.
Saya mencoba bijaksana dan berbaik sangka dalam menyikapinya. Mungkin ada juga proses kepemimpinannya yang sehat. Tapi hal itu tidak cukup membuktikan, bahwa faktanya, spirit perlawanan mahasiswa, diganti dengan kepatuhan.
Tidak ada lagi yang bisa di harapkan dari BEM yang orientasinya seperti ini. Semuanya hadir dan berorientasi untuk mengakumulasi kekayaan. Masuk proposal sana-sini, untuk program yang minim substansi. Bagi-bagi jatah melalu eksploitasi kepada mahasiswa baru, lengkap dengan aturan-aturan kapitalistiknya, mulai dari bayar suvenir, belanja baju, harus ini, harus itu biar uang masuk ke kantong para elit BEM.
Bagi para anarkis, jika hal di atas adalah sebuah keadaan permanen maka perlawanan juga adalah hal yang permanen. Akhirnya agar tulisan ini tidak terjebak pada dosa-dosa postmoderen (berhenti pada kritik), maka solusinya adalah meminjam istilah dari Jacques Derrida yaitu, melakukan “Dekonsentrasi” disemua organisasi internal kampus.
Penulis: Rahmat Mokodompit (Sering berkeliaran di kawasan Fakultas Hukum UNG. Seorang sufi dan pemuja Anarkisme, asal Tanah Mania).