Oleh: WR1
Wakilrakyat.co, Bolmut – Dalam negara hukum, tidak ada satu pun warga negara—apalagi aparat penegak hukum—yang berada di atas hukum. Fasilitas negara seperti rumah dinas (rudis) dan mess instansi penegak hukum bukan sekadar bangunan, melainkan simbol tanggung jawab dan integritas. Namun, ketika fasilitas tersebut justru dijadikan tempat berbuat asusila, maka pelanggaran yang terjadi bukan hanya terhadap norma hukum, tetapi juga terhadap tatanan adat yang hidup di masyarakat.
Kasus dugaan penggunaan Rudis dan Mess Kejaksaan Negeri Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) untuk aktivitas asusila oleh oknum yang ada di kejaksaan merupakan tamparan keras bagi supremasi hukum dan moral publik. Dari perspektif hukum positif, perilaku demikian dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap etika jabatan, penyalahgunaan fasilitas negara, hingga perbuatan melanggar kesusilaan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal-pasal tentang perbuatan perzinaan, dan penyalahgunaan fasilitas bisa menjadi dasar hukum untuk penindakan tegas.
Namun, lebih dalam dari itu, masyarakat Bolmut memiliki akar budaya yang kuat. Dalam perspektif hukum adat, perbuatan asusila di tempat umum—apalagi di fasilitas negara yang menjadi lambang pelayanan publik—dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap kehormatan komunitas. Bukan hanya pelaku yang tercoreng, tetapi keluarga dan institusinya pun turut tercela. Dalam adat Bolaang Mongondow, kehormatan dan “mododatu” (rasa malu karena menodai martabat keluarga dan masyarakat) adalah nilai utama. Maka, perilaku amoral ini tidak hanya merusak institusi, tapi juga mencederai tatanan sosial yang dijaga turun-temurun.
Jika pelanggaran ini tidak ditindak tegas, negara dan masyarakat akan menghadapi krisis kepercayaan. Institusi kejaksaan akan kehilangan wibawa sebagai garda depan penegakan hukum, dan adat istiadat yang luhur akan kehilangan kekuatannya sebagai penjaga moral komunitas.
Sudah saatnya aparat hukum juga mempertanggungjawabkan perbuatannya di dua ruang: di meja hukum positif, dan di panggung pengadilan adat masyarakat. Ini bukan hanya soal siapa yang bersalah, tapi soal bagaimana kita menegakkan kembali marwah hukum dan budaya.
Rakyat Bolmut tidak meminta keistimewaan dari penegak hukum. Mereka hanya menuntut satu hal: keadilan dan keteladanan. Jika fasilitas negara telah dinodai, maka hukum dan adat harus bersatu untuk memulihkan kehormatan itu.