Oleh: Nurmawan Pakaya
Ada masanya, bagi sebagian petani dan nelayan di negeri ini, utang bukan lagi soal pilihan. Ia menjadi bagian dari hidup—seperti matahari yang terbit dan tenggelam, seperti musim panen yang datang lalu pergi, kadang gagal, kadang cukup untuk makan. Tahun berganti, tapi surat tagihan tetap datang. Cicilan tak pernah menunggu panen bagus, sementara harga jual sering tak menutupi biaya produksi.
Kehidupan di sektor pangan sudah lama terasa berat. Banyak yang bertahan bukan karena melihat harapan, tapi karena tak punya pilihan lain. Maka ketika pemerintah mengumumkan rencana penghapusan utang untuk petani dan nelayan, bagi banyak orang, ini bukan sekadar kabar baik, melainkan ini adalah sebuah titik balik. Sebuah kesempatan untuk memulai dari nol tanpa dihantui beban masa lalu.
Pada 5 November 2024 yang lalu, Presiden Prabowo Subianto menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2024 yang menghapus piutang macet petani, nelayan, dan pelaku UMKM di sektor pangan.
Setiap individu mendapat penghapusan hingga Rp500 juta, sementara badan usaha bisa dibebaskan dari utang hingga Rp300 juta. Ini bukan kebijakan kecil. Ini adalah keputusan besar yang menyentuh jantung kehidupan masyarakat desa.
Dari Keterpurukan ke Harapan
Selama bertahun-tahun, utang menjadi penghalang bagi kemajuan. Petani takut menanam lebih banyak karena risiko gagal panen. Nelayan enggan melaut jauh karena takut rugi kalau hasil tangkapan tak sebanding dengan ongkos.
Hidup di bawah tekanan utang bukan hanya melemahkan finansial, tapi juga meruntuhkan semangat. Kebijakan pemutihan ini, dalam konteks pembangunan, bisa dipahami sebagai bentuk kolaborasi sosial antara negara dan rakyatnya.
Seperti yang disampaikan Kusnandar (2013), kolaborasi terjadi ketika dua pihak saling membantu dan memahami peran masing-masing untuk mencapai tujuan bersama. Dalam hal ini, pemerintah hadir bukan sebagai penolong sesaat, tapi sebagai mitra pembangunan.
Menggerakkan Ekonomi dari Pinggir
Ketika utang dihapus, banyak petani dan nelayan bisa kembali bergerak. Mereka bisa merencanakan masa depan tanpa bayang-bayang kredit macet.
Modal kerja bisa digunakan untuk produksi, bukan untuk menambal kekurangan masa lalu. Efek dominonya terasa: pasar tradisional lebih hidup, perdagangan lokal meningkat, dan geliat ekonomi desa mulai terdengar kembali.
Namun, tentu saja ini bukan solusi ajaib. Penghapusan utang hanya akan berdampak besar jika disertai pembenahan sistem. Akses terhadap pupuk, bibit, pelatihan, dan pasar harus lebih terbuka. Tanpa itu, risiko mereka kembali ke lingkaran utang sangat besar.
Inilah yang kemudian diingatkan oleh PSPK UGM—bahwa pemutihan ini jangan hanya dilihat sebagai tindakan karitatif, tapi harus menjadi awal dari pembangunan sistem pertanian dan perikanan yang lebih kuat dan mandiri. Dengan kata lain negara tidak hanya sekadar hadir untuk membebaskan beban, tapi juga mendampingi agar beban itu tak kembali menumpuk.
Lepas dari Jerat, Tapi Butuh Arah
Harus diakui, ada risiko ketika utang dihapus begitu saja. Jika tidak diiringi dengan pendidikan keuangan dan pendampingan produksi, kebijakan ini bisa jadi hanya solusi jangka pendek. Tapi risiko itu bukan alasan untuk tidak bertindak. Karena jauh lebih berbahaya membiarkan jutaan orang terus terjebak dalam keterpurukan yang sama.
Inilah saatnya pendekatan top-down bergeser menjadi kemitraan sejajar. Pemerintah bisa menjadi teman bertukar gagasan, bukan sekadar pemberi bantuan. Petani dan nelayan pun layak diajak merumuskan kebijakan yang menyentuh hidup mereka secara langsung.
Akhir yang Sebenarnya Adalah Awal
Penghapusan utang bukan akhir dari perjuangan. Ini adalah lembar baru yang menunggu diisi dengan sistem yang adil, dukungan yang konsisten, dan kepercayaan yang dibangun pelan-pelan.
Dalam dunia yang makin tidak pasti, langkah seperti ini menunjukkan bahwa negara masih bisa berpihak kepada kelompok yang kecil—yang sering dilupakan, tapi paling menentukan keberlangsungan hidup bangsa.
Bukankah Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada merasa sendiri dalam berjuang. Dan tidak ada yang lebih membangkitkan semangat selain merasa didampingi.
Maka Ketika negara akhirnya berkata, “Kami hapus utangmu,” itu bukan sekadar menghapus angka. Itu adalah cara lain untuk berkata, “Kami percaya padamu.”
Salam.