Oleh : Johan Chornelis Rumampuk (Ketua DPD Pro Jurnalismedia Siber Gorontalo)
OPINI. Dikala hukum makin menyebabkan lahirnya penjahat-penjahat baru. Tentu itu akan menjadi sebuah ironi mendalam bagi suatu daerah yang baru akan berkembang.
Sayangnya, meski terdapat koridor hukum yang berlaku dan mengatur semua aspek kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara, namun ada-ada saja pelanggaran demi pelanggaran hukum sehingga melahirkan “Para Penjahat Baru”
Kali ini kita akan berbicara tentang rusaknya tatanan hukum di Provinsi Gorontalo. Sebuah Daerah yang dalam 4 tahun terakhir dihebohkan dengan polemik di dunia pertambangan ilegal dan cerita penegakan hukumnya.
Siapa sangka, persoalan pertambangan ilegal mulai terkuat ke publik. Kini semua polemik dunia pertambangan semakin dikaitkan dengan kerusuhan-kerusuhan di Kabupaten Bone Bolango hingga Kabupaten Pohuwato yang tanggal 23 Oktober 2023 kemarin mengalami kerusakan hingga pembakaran gedung Kantor Bupati dan kerusakan Rumah Dinas Bupati serta gedung Kantor DPRD.
Ada yang mengatakan bahwa, kerusuhan di Kabupaten Pohuwato merupakan “Puncak Gunung Es” dari persoalan fundamental hingga terjadinya penghimpitan ekonomi yang disebabkan oleh penegakan hukum Polda Gorontalo.
Sebuah ketegasan Kapolda dan transparasi progres penanganan kasus pertambangan ilegal di Provinsi Gorontalo semakin membuat masyarakat menjadi pesimis dan bahkan lahir sebuah pertanyaan tentang keseriusan institusi Polri dalam penanganan kasus tersebut.
Hingga Penegakan hukum dan perlindungan hukum kerap dianggap sama di Provinsi Gorontalo. Harusnya dalam rangka Law enforcement, banyak yang tuntutan hingga mempertanyakan apakah kasus ini sudah di SP3kan atau sudah ditingkatkan ke penyedikan, namun jika sudah keranah penyidikan berarti sudah ada yang ditetapkan sebagai tersangka.
Ataukah persoalan pertambangan ilegal di Provinsi gorontalo merupakan bagian dari sebuah perlindungan hukum?, dimana perlindungan terhadap kepentingan seseorang atau pejabat dan kelompok dengan cara mengalokasikan kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.?
Jika hukum dimaknai sebagai norma, maka menjadi sebuah “ironi”, ketika kejahatan atau pelaku kejahatan justru semakin tumbuh subur dikarenakan terjadinya “Pembiaran” oleh penegak hukum.
Suatu saat akan ada sebuah “Disobidience” atau sikap pembangkangan dari masyarakat hingga terjadi “Disintegrasi”. Sebab persoalan saat ini, masyarakat lokal tentang adanya beberapa kesepakatan – kesepakatan dan hukum – hukum yang menyandera mereka semua.
Hal itu disebabkan oleh warisan moralitas oknum-oknum yang bobrok, sehingga persoalan kandungan bumi yang ada di 2 Daerah tersebut tidak pernah selesai.
Jika demikian adanya, maka benar apa kata Marvel, bahwa penjahat hukum adalah orang yang terlahir “tolol” karena salah kaprah dalam memaknai dan menghadirkan esensi kesejatiannya sebagai pelaksana hukum.
Apalagi jika berbicara tentang hukum negara. Begitu banyak pasal dan ketentuan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan sosial kemasyarakatan, namun semua produk hukum itu, seakan hanya tegak di atas kertas, rapuh dalam realitas bahkan bisa dikendalikan oleh “selembaran kertas”.
Mirisnya lagi, ketika norma hukum atau ketentuan hukum dilanggar, bukan penegakkan hukum yang diseriusi, malah aturan hukum itu yang dipersoalkan, diperdebatkan, malah direvisi, diamandemen dan diadaptasikan dengan kepentingan “orang penting”.
Dalam konteks ini, hukum tidak penting ditegakkan, tapi yang penting adalah mengamankan “orang penting”.
Disinilah para penjahat kelas kakap itu bukan saja merasa jahat, tapi justru berasa berada di atas awang-awang, seakan tampil menjadi “begawan” yang sok berwibawa.
Sebaliknya, ketika penjahat “maling ayam”, maka sekonyong-konyong hukum menjadi tajam, setajam silet. Bahkan lebih dari itu, si maling ayam dan penjahat kelas teri.
Terkadang harus rela menjadi “tumbal” untuk sebuah pencitraan, mencari muka di hadapan rakyat, bahwa penegakkan hukum sedang baik-baik saja. Sebuah fenomena penegakkan hukum yang rapi, namun rapuh yang sungguh tiada ampun.